Selasa, 08 November 2011

Ralf Dahrendorf bicara konflik PSSI



Awal mula terjadinya konflik di tubuh PSSI, ketika sebagian besar public sudah tidak percaya lagi dengan kepengurusan PSSI di bawah pimpinan Nurdin Halid. Banyak keputusan – keputusan yang sudah tidak bisa ditolerir oleh public, seperti keputusan Komisi Disiplin yang mengeluarkan sanksi kepada pemain, namun beberapa lama kemudian NH menggunakan hak prerogatifnya dengan memberi keringanan ataupun bebas bersyarat, begitupun terhadap perwasitan kita. Sering kali wasit tidak berlaku adil dalam melaksanakan tugas dilapangan hijau, lebih menguntungkan tuan rumah adalah hal yang lumrah dilakukan oleh wasit dan pembantunya. Statuta PSSI pun di pelintir sedemikian rupa, pemelintiran tersebut dilakukan untuk membentengi dari kelompok-kelompok lain yang ingin menjadi ketua umum PSSI. Ada dua pasal krusial yang digarap NH cs dalam upaya melenggangkan kekuasaannya, pasal untuk menghalangi orang-orang yang ingin menjadi ketua umum PSSI yaitu harus lima tahun berturut-turut menjadi pengurus sepak bola dibawah naungan PSSI dan pasal mengenai mantan napi boleh kembali memimpin PSSI asal tidak dalam tindakan criminal pada saat kongres PSSI.

Banyak pihak yang sudah mulai gerah dengan kepemimpinan NH. Beliau dianggap sudah gagal dalam memimpin PSSI. Mereka menginginkan reformasi di tubuh PSSI guna menghasilkan perubahan yang lebih baik. Gerakan – gerakan pun dilakukan, seperti aksi turun jalan supporter sudah menjadi pemandangan yang biasa. Dan gerakan yang terkesan berani dilakukan sekelompok orang dengan mengatasnamakan pecinta bola tanah air yang dipelopori pengusaha sekaligus politisi Arifin Panigoro membentuk LPI “liga tandingan” yang diklaim lebih professional daripada ISL sebagai liga yang dijalankan PSSI pada saat itu. LPI juga membajak tiga tim ISL, yakni Persema, Persibo dan PSM. Sedangkan Persebaya yang seharusnya degradasi ke divisi utama memutuskan bergabung dengan LPI. PSSI lantas murka dengan gerakan AP cs dan tidak akan pernah mengakui LPI sebagai liga di bawah induk organisasi PSSI, karena liga tersebut dianggap sudah memecah belah persatuan. Tetapi LPI yang “professional” tadi sebenarnya tidak jauh beda dengan ISL. LPI terkesan dipaksakan dan cenderung bernuansa politis daripada profesional. Banyak kekurangan di sana – sini, dan akhirnya liga tersebut hanya mampu berjalan setengah musim kompetisi dengan Persebaya Surabaya sebagai juara tanpa mahkota.

Ternyata benar terbukti jika LPI lebih bersifat politis. Pada saat kongres PSSI, AP memutuskan maju dalam bursa calon ketua PSSI berpasangan dengan Jendral George Toisutta dengan diusung oleh 78 pemilik suara atau lebih dikenal K78. Tapi langkah AP-GT dijegal oleh kubu NH cs yang masih berkuasa di PSSI. AP-GT tidak diloloskan sebagai pasangan calon ketua dan wakil ketua karena telah berkecimpung di LPI yang dianggap ilegal oleh PSSI. Sedangkan NH sendiri justru lolos, padahal pada saat itu NH pernah terlibat criminal dengan kasus korupsi bulog dan pernah menjalani hukuman penjara. Sedangkan syarat menjadi ketua PSSI salah satunya tidak pernah terlibat dalam kasus criminal. Peta pertarungan sampai di sini sudah jelas siapa saja aktor dibalik konflik PSSI, yakni kubu NH cs vs kubu AP cs. 

Konflik yang tak kunjung usai di PSSI membuat FIFA mengancam akan menjatuhkan sanksi berat jika konflik tidak segera diselesaikan. Menpora, KONI/KOI juga turut campur menyelesaikan konflik tersebut dengan membekukan PSSI. FIFA kemudian mengambil keputusan dengan membentuk Komite Normalisasi (KN) yang diketuai Agum Gumelar. Jalan tengah yang diambil KN adalah dengan tidak meloloskan NH dan juga AP-GT sebagai calon ketua.

Dengan berbagai drama akhirnya KN berhasil menyelenggarakan kongres dan menetapkan Djohar Arifin sebagai Ketua Umum PSSI periode 2010-2015. Tetapi konflik belum selesai sampai di sini. Public berharap banyak kepada ketum yang baru dapat memberikan perubahan yang jauh lebih baik. Kenyataanya setelah beberapa waktu PSSI berjalan hasilnya juga sama buruknya dengan kepengurusan NH. PSSI terkesan hanya mementingkan kelompoknya saja. Sudah bukan rahasia lagi jika Djohar Arifin kelompok AP cs. Statuta dilanggar, liga yang sudah terkonsep dengan rapi, masih diutak – atik. Nama liga yang sebelumnya ISL diganti IPL. Klub – klub yang musim sebelumnya tidak masuk ISL dipaksakan masuk IPL, akibatnya jumlah klub membengkak menjadi 24 klub yang sebelumnya hanya 16 klub. Lagi –lagi muncul pro kontra. Klub anggota PSSI pun terpecah menjadi dua kubu. Ada Kelompok 14 dan Kelompok 10. Kelompok 14 menolak keputusan PSSI yang memilih format liga dengan peserta 24 klub untuk musim 2011/2012. Mereka ingin PSSI kembali menggunakan format lama, yaitu 18 klub. Adapun Kelompok 10 mendukung langkah PSSI dengan format 24 klub itu. 

Kelompok 14 akhirnya lebih memilih menjalankan sendiri ISL yang merupakan liga musim kemarin tanpa PSSI. Liga pun lagi – lagi pecah menjadi dua, antara IPL dengan ISL. Klub yang internalnya tidak harmonis juga ikut – ikutan pecah menjadi dua, seperti yang dialami Arema, Persija dan Persebaya. Suporter pun juga mengalami hal yang sama. Bahkan saya kemarin baca berita di koran kalau sesama Bonek terlibat tawuran hanya karena berbeda pendapat soal kisruh di klub Persebaya. Sungguh mereka lebih pantas main sinetron daripada mengurusi sepakbola.

Dalam konflik PSSI ini Ralf Dahrendorf tokoh sosiologi juga ikut berbicara. Menurutnya, di dalam asosiasi (PSSI) ada yang namanya otoritas. Otoritas ini tidak terletak di dalam diri individu, tetapi di dalam posisi yang dalam kasus ini si ketua umum. Mereka yang menduduki posisi otoritas diharapkan mengendalikan bawahan. Menurutnya mereka yang berkuasa karena harapan dari orang – orang yang ada di sekitar mereka, bukan hanya dari keinginan mereka sendiri. Harapanpun melekat pada posisi bukan orangnya. Otoritas tunduk pada control dan yang dibebaskan dari control, ditentukan dalam masyarakat. Otoritas dalam setiap asosiasi bersifat dikotomi dan ada dua kelompok konflik dalam setiap asosiasi. Kelompok superordinat yang memegang posisi otoritas dan kelompok subordinat yang mempunyai kepentingan tertentu. “yang arah dan substansinya saling bertentangan”. Substansinya dalam konflik ini adalah kepentingan.

Jadi yang dipermasalahkan dalam kasus ini bukan individu Nurdin Halid ataupun Djohar Arifin, tetapi posisi mereka sebagai ketua umum/ pengurus PSSI. Jika beliau ini menjalankan amanahnya dengan sebaik mungkin tidak akan terjadi masalah. Tetapi ketua ini tadi yang disebut Dahendorf sebagai superordinat menggunakan kekuasaannya untuk kepentingan kelompoknya. Mereka memberikan keputusan – keputusan tidak hanya asal member keputusan begitu saja meskipu berbanding lurus dengan aturan PSSI sendiri, tetapi keputusan tadi harus menguntungkan kelompok yang mendukungnya. Dan pengurus PSSI dikontrol (ditentang) oleh pihak di luar pengurus yang disebut subordinat yang mempunyai kepentingan berbeda dengan pengurus.

Di dalam setiap asosiasi, orang yang berada pada posisi dominan yakni pengurus PSSI berupaya mempertahankan status quo, sedangkan orang yang berada dalam posisi subordinat yakni pecinta sepakbola tanah air, kelompok 78 ataupun keompok 14 saat ini, berupaya melakukan perubahan. Konflik kepentingan dalam setiap asosiasi selalu ada sepanjang waktu, setidaknya yang tersembunyi. Ini berarti legitimasi otoritas terancam. Konflik kepentingan ini tak selalu perlu disadari oleh pihak supordinat dan superordinat dalam rangka melakukan aksi. Kepentingan subordinat dan superordinat adalah objektif dalam arti bahwa kepentingan itu tercermin dalam harapan (peran) yang dilekatkatkan pada posisi. Individu tak selalu menginternalisasikan harapan itu atau tak perlu menyadarinya dalam rangka bertindak sesuai dengan harapan itu. Bila individu menempati posisi tertentu, mereka akan berperilaku menurut cara yang diharapkan. Tanpa disadari meskipun pengurus sudah merasa menjalankan tugasnya dengan baik, tapi mereka secara tidak sadar telah mementingkan kelompoknya. Individu “ disesuaikan” atau “menyesuaikan diri” dengan perannnya bila mereka menyumbang bagi konflik antara subordinat dan superordinat. Harapan peran yang tak disadari ini disebut “kepentingan tersembunyi”. Sedangkan “kepentingan nyata” adalah kepentingan tersembunyi yang telah disadari. Bagaimanapun actor tak selalu perlu menyadari kepentingan mereka.

Selanjutnya jika konflik telah muncul, kelompok – kelompok yang terlibat tadi melakukan tindakan yang menyebabkan perubahan dan perkembangan. Bila konflik itu hebat, maka perubahan yang terjadi adalah radikal. Bila konflik disertai tindakan kekerasan, maka akan terjadi perubahan sistem secara tiba – tiba. Seperti halnya saat ini, kompetisi terpecah menjadi dua, antara IPL kompetisi yang dijalankan PSSI dengan ISL kompetisi yang dijalankan oleh penentang. PSSI sendiri terlihat kewalahan dengan perlawanan pihak - pihak penentang yang merupakan tokoh-tokoh rezim PSSI yang telah dijatuhkan, mereka tidak terima untuk kemudian melakukan perlawanan. Kompetisi ISL saat ini malah lebih siap, mereka berhasil merangkul klub - klub besar yang punya pengaruh penting terhadap iklim sepakbola Indonesia. Sedangkan IPL kelimpungan setelah banyak ditinggal klub - klub pesertanya. Jumlah peserta dan jadwal pastinya tidak jelas. Jika konflik ini tidak segera di mediasi, tidak menutup kemungkinan kepengurusan PSSI periode sekarang tidak lama lagi akan berakhir, karena kekuatan subordinat lebih besar daripada superordinat. Kita lihat saja bagaimana nanti endingnya, dan sampai berapa episode lagi sinetron tentang konflik PSSI ini berakhir.


0 komentar:

Posting Komentar

lugaswicaksono.blogspot.com
 
;